Merengkuh Embun Pagi Waerebo, Negeri Dongeng Diatas Awan yang Mendunia
00.25.00
“…..dan kehidupan sebenarnya dimulai ketika dirimu
berada jauh dari zona nyaman bersama orang-orang yang tak biasanya disekitarmu….
”
Belajar tak
mengenal kata usia, penghujung usia rasanya tak mengenal kata tua, tua pun
bukan berarti banyak pengalaman hidup. Berbaur dengan sekian banyak pengalaman
menjadikan segala sesuatunya sebagai pembelajaran memahami dunia bahwa pada
dasarnya semua yang ada di bumi ini saling berinteraksi menempatkan diri pada
posisi penting sebagai alur rantai kehidupan yang saling bersimbiosis
mutualisme, memahami bahwa setiap manusia yang berada dalam suatu tatanan
masyarakat itu sederajat. Tak ada yang istimewa, diistimewakan, merasa istimewa
atau membuat menjadi istimewa.
Belajar dari
sebuah desa yang konon jauh dari kehidupan sosial-modern
dan benar-benar terisolasi dari hiruk-pikuknya kehidupan serta serba-serbi
dunia kecanggihan mesin dan elektronik ternyata berhasil membangun jati-dirinya
sendiri sebagai desa yang diposisikan sebagai warisan budaya yang mendunia.
Entah sejak kapan desa ini telah berada membentuk pemukiman disini. Namun info
yang saya dapatkan bahwa keturunan di desa telah memasuki generasi ke-20 dan
perkiraan rentang usia desa telah mencapai kurun waktu 1200 tahun.
Perjalanan ke
desa Waerebo ini sendiri lumayan menguras keringat, pasalnya laluan untuk
menuju perbukitan desa Waerobo ini harus dilalui dengan trekking sekitar 2 jam
perjalanan. Waerebo sendiri merupakan desa adat terpencil di kawasan desa
Satarlenda, kecamatan Satarmese barat, kabupaten Manggarai di provinsi Nusa
tenggara Timur. Pada 27 Agustus 2012 bertempat di Bangkok, sejarah besar kembali
terukir untuk Indonesia, bahwa desa yang sebegitu unik ini ternyata disematkan
anugerah sebagai peraih Award of Excellence pada UNESCO Asia-Pasific Awards for
Cultural Heritage Conservation oleh Badan PBB. Sebuah kebanggaan dan
penghargaan tertinggi dalam bidang konservasi warisan budaya, bahwa Waerebo
dapat mengalahkan 42 warisan budaya dari 11 negara pesaing seluruh dunia yang
tak kalah berkualitas.
Rasanya seperti
mimpi bisa mendapatkan kesempatan mengunjungi desa yang namanya sudah menggaung
di berbagai Negara ini. Rasanya seperti bermimpi ingin ke sebuah tempat yang
rasanya tak bakalan kesampaian, namun akhir nya terwujud !!! What a Surprised.
Seperti tak habisnya mengedipkan mata berulang-ulang setelah memasuki gerbang
pintu masuk desa Wae Rebo dan disambut langsung oleh Pak Alex selaku ketua adat
setempat yang sebegitu ramahnya. Jujur, disini masyarakatnya super ramah dan
kekeluargaan sekali.
Pernah melihat
tayangan iklan salah satu produk perusahaan air mineral ternama beberapa tahun
lalu? Sangat lekat di ingatan kita dengan logat khas mereka “Sekarang
sumber air sudekat …” kan? Menurut penuturan cerita ketua adat, desa
ini dulunya nyaris punah karena ketidakadaan biaya untuk mempertahankan
eksistensi desa adat ini, hingga akhirnya rekonstruksi besar-besaran pun
dilakukan oleh pemerintah dan perusahaan air mineral ternama ini ketika nama
desa ini akhirnya mulai melejit. Uniknya desa ini justru terkenal Mendunia
terlebih dahulu baru akhirnya terkenal se-Nusantara.
Perjalanan saya
ke desa Waerebo ini bermula dari Kota Ruteng, Ibukota dari kabupaten Manggarai.
Jalur awal perjalanan dimulai dari Ruteng menuju desa Denge, desa terdekat dari
Waerebo dengan waktu tempuh perjalanan darat sekitar 4 jam melintasi desa Golo
Lusang, desa Pong Nggeok, melewati jembatan Wae Mese lalu berlanjut ke desa Narang,
kemudian desa Nanga Ramut dan berakhir
di desa Dintor sebelum perhentian terakhir di Desa Denge.
Berlanjut dari
desa Denge kita akan diantar menggunakan sejenis truk yang telah di modifikasi
dengan bangku-bangku kayu memanjang di atasnya. Perjalanan akan di tempuh
sekitar 30-40 menit hingga menuju pintu masuk menuju desa Waerebo. Saat itu
saya menaiki truk ini bersama teman rombongan, dan cukup membayar Rp. 60.000
saja untuk biaya antar-jemput (PP).
Setelah itu
pendakian pun dimulai. Trekking nya terbilang santai karena sepanjang
perjalanan yang dilalui akan terlindung dari panasnya matahari dikarenakan
kanopi hutan begitu lebat menutupi area perjalanan saya. Jalan setapak yang saya
lalui sudah bersih walau lebarnya hanya sekitar 1-2 meter saja. Perjalanan
mengikuti lereng bukit pun dimulai dari Wae Lomba menuju Poco Roko. Kabut tipis
sudah mulai terlihat, nafaspun sudah mulai tersengal-sengal pertanda oksigen
yang dihirup mulai menurun, serta kontraksi otot tubuh semakin meningkat akibat
naiknya asam laktat yang di olah tubuh kita secara biologis membuat sesekali
saya harus beristirahat sejenak untuk mengumpulkan energi kembali.
Poco Roko pun
mulai terlihat. Pos ini ditandai dengan adanya pagar pengaman beton dan
tertahan besi panjang pengaman di sisi tebing. Jalur trekking akhirnya semakin
rumit dengan medan semakin menanjak hingga menyentuh pos 3. Menurut saya jalur
trekking dari pos 2 hingga pos 3 adalah tantangan yang lumayan berat, disamping
pijakan yang tipis karena posisi sebelah kiri hampir kebanyakan jurang, selain
itu harus lebih awas lagi dengan langkah kaki karena sewaktu-waktu bisa saja
tergelincir karena terpijak bebatuan yang menggelinding. Hinggga akhirnya
menemukan jembatan gantung yang terbuat dari bambu, perjalanan selanjutnya akan
mulai terasa enteng karena sepanjang perjalanan akan datar.
Akhirnya tanaman
kopi pun mulai kita lintasi di sepanjang perjalanan, menandakan posisi kita
sudah mulai dekat dengan perkampungan penduduk. Rumah kasih ibu pun mulai
tampak. Pos ini merupakan titik terakhir sebelum menuju desa Waerebo. Bangunan
ini sejenis saung seperti rumah panggung dengan dua atap berbentuk kerucut dan
beratap ijuk. Dari pos ini saya sudah dapat
melihat 7 kubah Mbaru Niang desa Wae rebo.
Gambar: Tujuh Rumah Adat Mbaru Niang
Adat yang mesti
dilakukan saat tiba disini adalah membunyikan sebuah benda seperti kentongan
yang terikat bergantung di rumah Kasih Ibu tersebut. Membunyikan ini pertanda
bagi masyarakat Waerebo bahwa akanada kedatangan tamu agar warga setempat bisa
mempersiapkan diri untuk menyambut denag prosesi adat tamu yang akan
berkunjung. Dimulai dari pos terakhir ini hingga prosesi penyambutan adat saya
tidak diperbolehkan lagi mengeluarkan kamera atau mendokumentasikan apapun
hingga prosesi penyambutan selesai di gelar dan saya secara sah di perbolehkan
menjadi pengunjung yang sah dan telah dianggap sebagai bagian dari warga
setempat selama masa berkunjung kesana. Saya sarankan untuk membawa guide yang
bisa berbahasa Manggarai. Biaya yang akan dikenakan sebagai pengunjung yang
pulang pada hari yang sama mengunjungi Waerebo adalah sebesar RP. 200.000
sedangkan bila menginap akan dikenakan RP 325.000/pengunjung wisatawan lokal
dengan fasilitas merasakan menginap di rumah Mbaru Niang dan disediakan makan
sebanyak dua kali.
Mbaru Niang
sendiri sebenarnya merupakan rumah adat yang khas Flores yang memiliki5 lantai
dengan tinggi sekitar 15 meter. Rumah adat Mbaru Niang ini termasuk rumah adat
kategori langka karena tersisa hanya beberapa saja dan hanya terdapat di desa
Waerebo. Rumah adat ini memilik atap yang terbuat dari ijuk yang berasal dari
Lontar. Informasi yang saya peroleh bahwa Mbaru Niang di Waerebo masing-masing
memiliki nama, yaitu: Niang Gendang, Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong,
Niang Gena Ndorom, Niang Gena Keto, Niang Gena Jintam dan Niang Gena Maro.
Dalam Mbaru Niang aktifitas kebanyakan dilakukan di Rumah Utama, yaitu Niang
Gendang yang ditempati oleh 8 keluarga dari masing-masing garis keturunan yang
berbeda. Saya sempat berfoto di salah satu rumah Mbaru Niang, yaitu di Niang
Gena yang posisinya tepat bersebelahan dengan Niang gendang (rumah induk).
Gambar: Rumah adat Niang Gena di Waerebo
Jika ditanya
bagaimana sensasinya menginap di desa Waerebo ini, saya akan menjawab nya
“Sangat luar biasa !!!”. Sungguh tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan
nikmatnya sehari menjadi warga desa Waerebo ini. Tidur beralaskan kasur pandan
dirumah yang masuk dalam warisan adat dunia, kemudian menyantap menu khas desa
setempat hingga melihat aktifitas pagi masyarakatnya dan melihat langsung awan
menyapa di balik bubung atap dan fajar pagi kemudian menyingkapnya. Semua
pengalaman ini sungguh luar biasa menurut saya.
Gambar: Desa adat Waerebo
Puas
mengelilingi desa dan mendokumentasikan gambar hampir di semua sudut desa,
akhirnya tiba waktunya untuk berpisah. Serasa tak mau melepas kehadiran di desa
unik ini, namun perjalanan saya harus segera berlanjut menyusuri keindahan
lainnya di tanah Flores ini. Hingga akhirnya berpamitan dengan ketua adat
waerebo kemudian menghilang dibalik belantara hutan melanjutkan trekking
kembali menuju Dintor. Dan akhirnya usai sudah cerita perjalanan saya di negeri
diatas awan ini, cerita saya selanjutnya akan dimulai kembali di kota lainnya
di Pulau Flores. Perjalanan siang akan segera di lanjutkan menuju Labuan Bajo
yang katanya penuh seribu cerita menarik menyusuri kepulauan di sekitarnya. Sampai
di sini cerita saya tentang desa unik Waerebo sobat
Budget traveler, nantikan kisah saya selanjutnya di tempat terindah lainnya di
negeri kita ini.
INFO PENTING
|
|
Nama lokal
|
Desa Waerebo
|
Lokasi wisata
|
desa
adat Waerebo,kawasan desa Satarlenda, kecamatan Satarmese barat, kabupaten
Manggarai di provinsi Nusa tenggara Timur
|
Jalur Perjalanan
|
Ruteng – Golo Lusang – Desa Pong Nggeok – Jembatan
Wae Mese – Desa Narang – Desa Nanga Ramut -
Dintor – Desa Denge - Jalur Pendakian Denge – Wae Lomba – Poco Roko –
Rumah kasih Ibu – Desa Waerebo
|
Cost/ Biaya
|
Rp. 325.000/orang menginap + Truk Kayu PP RP.
60.000/orang
|
Kendaraan Yang disaranan
|
Mobil ke Dintor dan Truk/Ojek ke Pintu Pendakian
Dintor
|
Lama Perjalanan
|
4 Jam + trekking 2 jam
|
Kepuasan kunjungan wisata
|
(9.9) dari (10)
|
2 komentar
Keren brader.
BalasHapusSemangat ya ngeblog nya 👍👍
Makasih braderku
Hapus