Memaknai Hirarki Sebuah Pendakian ( Danau Gunung Tujuh) Sebagai Proses Membentuk Jati Diri
07.09.00
“…..mendaki adalah sebuah perjalanan hati, proses membentuk jati diri,
dan sebuah cerita pendek membentuk karakter sanubari. Jika puncak menjadi
tujuan yang ingin ditaklukkan, berarti kamu tak cukup banyak belajar mengenal
siapa dirimu dan tuhanmu. Pendakian adalah sebuah pengabdian kecil sederhanaku
kepada sang pencipta alam raya ini….”
Bukan tentang seberapa tinggi
gunung yang kamu daki, dan bukan tentang seberapa banyak gunung yang sudah kamu
jelajahi. Jika tujuanmu hanyalah mencapai puncak dan kemudian membanggakannya,
maka kamu tak cukup banyak belajar tentang makna sebuah pendakian. Mendaki
bukan tentang seberapa MDPL yang mampu kau capai, bukan tentang serumit apa
jalur yang bisa kamu taklukkan. Jika hanya itu tujuanmu, maka kamu tak akan
pernah mengenal siapa penciptamu.
Saya tahu ada sekian banyak
pendaki ulung yang sudah mencapai berbagai puncak dari setiap gunung yang
terhampar luas di muka bumi ini, tak sedikit pula yang dengan gagahnya
menunjukkan plakat bertuliskan sekian meter ketinggian di berbagai dokumentasi,
bahkan tak sedikit yang menyematkan dirinya sebagai pendaki sejati atau bahkan
sebutan lainnya yang menunjukkan betapa jawaranya ia di mata orang yang
menyaksikan fotonya yang terpampang di berbagai galeri sosial media.
Sebuah tulisan sederhana yang
saya dedikasikan kali ini untuk sahabat-sahabat sang penikmat ketinggian. Dalam
sebuah kesempatan bercengkrama bersama para sahabat perjalanan tak sekali
sering saya dengar celotehan yang membuat saya menggelengkan kepala tentang berbagai
cerita mereka saat dalam pendakian. Beberapa ada yang membanggakan telah
menaklukan berbagai macam nama puncak gunung, beberapa diantaranya lagi ada
yang mengelu-elukan kisahnya saat menantang badai, dan beberapanya lagi ada
yang menongak hebat atas pendakian nya yang lebih cepat dari waktu normal
pendaki pada lazimnya, bahkan ada pula yang dengan gagahnya menyebutkan bahwa
teguran alam diatas sana adalah tantangan yang harus dihadapi.
Sebuah kalimat bijak mengatakan,
bahwa mendaki bukanlah tentang mengejar puncak, namun hirarki pendakian adalah
pergi dan pulang kembali kerumah dengan selamat. Puncak hanyalah sebuah bonus dalam
proses penajakanmu, rasa syukurmu atas berkah dari tuhanlah yang seharusnya diilhami
dalam setiap ketinggian selama proses mencapai puncak itu berlangsung.
Semenjak sosial media semakin
menjamur, tampaknya mendaki gunung bukanlah hal yang luar biasa lagi saat ini.
Hampir semua penikmat petualangan paling tidak akan mencoba walau hanya sekali
untuk menjajaki perjalanan ketinggian ini dalam hidupnya. Namun filosofinya tak
seindah dulu lagi dan tampaknya telah mulai bergeser. Mendaki sudah seperti trend saat ini. Belum pernah mendaki berarti belum bisa dibilang
hebat. Belum pernah ke gunung belum bisa dibilang tangguh, sebuah mindset yang
perlu diluruskan sebenarnya. Entah mengapa saat ini mendaki justru hanya
menjadi ajang pamer, walau tak semuanya seperti itu, tapi setidaknya sebagian
besar melakukan hal seperti itu saat ini.
Saya akan menceritakan sebuah
pengalaman pendakian yang paling dramatis dan benar-benar saya rindukan saat
ini kepada sobat budget traveler
semua. Sebuah pendakian kecil dengan ketinggian yang tak begitu membanggakan untuk
diceritakan, sebuah cerita penanjakan yang tidak begitu mencengangkan untuk
digapai, namun kisah dibalik setiap proses mencapai tujuan bersama team hingga
kembali ke asal lah yang membuatnya begitu berkesan.
Cerita bermula dari perjalanan ke
Kerinci, sebuah kabupaten yang disebut-sebut sebagai sekepal tanah dari surga. Kedatangan
saya dan teman-teman ke dataran paling indah di provinsi Jambi kali ini adalah
mencoba untuk menggapai eksotiknya danau di Gunung Tujuh yang berdasarkan
informasi katanya merupakan danau kaldera tertinggi se-asia tenggara. Danau
kaldera merupakan danau yang terbentuk karena sebuah kegiatan vulkanik dan
terhenti aktifitasnya, kemudian membentuk cekungan dan terisi air yang
lama-kelamaan membentuk danau. Di pulau Sumatera Danau Gunung Tujuh masuk dalam
daftar danau kaldera terbesar kedua setelah Danau Toba di Sumatera Utara.
Perjalanan selama 10 jam dari kota Jambi akhirnya mengantarkan kami ke kota
Sungai Penuh dilanjutkan menuju pintu pos pendakian gunung tujuh.
Danau Gunung Tujuh merupakan salah satu danau tertinggi di Indonesia dan
berada pada ketinggian 1.950 mdpl. Sesuai namanya, danau ini dikelilingi oleh
tujuh gunung, yaitu Gunung Hulu Tebo (2.525 mdpl), Gunung Hulu Sangir (2.330
mdpl), Gunung Madura Besi (2.418 mdpl), Gunung Lumut (2.350 mdpl), Gunung
Selasih (2.230 mdpl), Gunung Jar Panggung (2.469 mdpl) dan Gunung Tujuh itu sendiri
(2.735 mdpl). Danau ini terletak di desa Pelompek, kecamatan Kayu Aro berjarak
sekitar 56 km dari kota Sungai Penuh. Trekking menuju ke lokasi danau akan
memakan waktu sekitar dua hingga empat jam perjalanan.
Setelah berdoa di pintu rimba
kami pun memulai pendakian. Jika mengingat kondisi kesehatan yang ada dalam
team saat itu tentu kemampuan fisik dari kami begitu beragam saat itu. Yang
sering melakukan pendakian tentu fisiknya sudah terlatih, yang sudah akrab
dengan carier tentu beban tak jadi masalah, namun dalam perjalanan inilah saya
menemukan arti sebuah kebersamaan, bahwa mendaki bukan hanya sekedar cerita menuju
ketinggan dari sebuah tujuan yang ingin dicapai, namun proses menikmati kisah
selama langkah kaki menuju kesana berlangsung. Tak ingin membanggakan diri
karena saya termasuk salah satu “Pendaki
Keong’, sebuah sebutan bagi seorang pendaki yang lamban dan sering
terseok-seok saat melakukan penanjakan. Disini saya belajar bahwa teamwork adalah sebuah kunci berhasilnya
sebuah pendakian bersama para sahabat. Disini saya belajar adalah tentang
sebuah keadilan, bahwa adil bukan mengenai pembagian yang sama rata, namun adil
sesuai takaran dan kemampuan setiap pendaki antara yang satu dan yang lain.
Logistik dan perlengkapan sudah
disipakan, beban akan dimasukkan kedalam perlengkapan masing-masing. Bagi
seorang pria tentu beban tanggungan tak akan disamakan dengan wanita, untuk
seorang pemula tentu tak bisa disamakan dengan yang expert, dan untuk seorang
swiper tentu tak bisa disamakan dengan yang menjadi guide, begitulah prinsip
pendakian team. Semua dibagi rata, dalam artian perlengkapan akan ditanggung
sesuai porsi dan takaran kemampuan membawa beban, bukan menyamakan berat beban.
Sebuah pelajaran pertama yang saya dapat dari proses melakukan
pendakian.
Perjalanan pun dimulai, baru
setengah jam menyusuri jalur trekking, sebagian team mulai merasakan nafas yang
sedikit tersengal-sengal. Sebuah kondisi yang wajar bagi yang sedang melakukan
penanjakan, apalagi bagi anggota yang tak begitu sering menghadapi perjalanan
pendakian. Walau speed nya tak ada
yang sama, namun satu-persatu semua akan merasakan kelelahan dan dehidrasi
secara perlahan sebagai suatu kondisi biologis yang pasti terjadi menandakan
perlunya mengistirahatkan tubuh sejenak. Kali ini saya kembali belajar tentang
makna pendakian dalam sebuah team. Ini bukan tentang seberapa kuatnya fisikmu
dalam mendaki, ini adalah makna tentang menghargai sesama anggota, bahwa disini
kita menyadari tak semua kemampuan setiap penadaki itu sama, kerjasama team
sangat dibutuhkan dalam mengukuhkan komitmen kesolidan team, pergi dan pulang
bersama. Sebuah pelajaran kedua yang dapat saya resapi adalah tentang arti
kekompakan team dalam pendakian. Selama pendakian entah sudah berapa kali kami
mengistirahatkan tubuh sembari mengisi cairan tubuh yang tergerus perlahan oleh
rasa kelelahan.
Lamanya pendakian memang sering
tak dapat ditebak, disaat pendakian untuk estimasi waktu normal bagi seorang
pro adalah 2 jam saja, justru kami menyelesaikan trekking menuju puncak Gunung
tujuh dalam waktu 3 jam. Waktu yang cukup panjang yang kami gunakan dimana
seharusnya telah sampai ke lokasi danau Gunung Tujuh sebagai spot utamanya.
Kerjasama team yang solid akan membentuk team yang kompak, dimana dalam sebuah
gugusan secara otomatis akan terbentuk sendirinya peserta-peserta yang secara
naluriah tanpa dikendalikan akan menjadi swiper dan guide dengan sendirinya.
Ini yang saya sebut sebagai rasa toleransi dalam teamwork. Bagi anggota team yang merasa mengetahui jalan dan arah,
dengan sendirinya akan berada di depan, menuntun rekan lainnya memilih jalan
yang bisa dilewati, mengarahkan hingga menuntun menuju ke jalan pada jalur yang
sebenarnya.
Sementara bagi anggota yang peka
terhadap setiap anggota yang berjalan sedikit lamban, gampang lelah dan mungkin
ada yang mengalami sedikit cidera, maka dengan sendirinya akan menjadikan
dirinya sebagaii swiper yang mengawasi dan memantau setiap team sehingga tidak
ada yang tertinggal sendiri atau bahkan terlalu jauh tertinggal diantara satu
regu. Di posisi ini ia berperan sebagai supporting dan motivating bagi anggota
lainnya, termasuk saya yang menjadi pendaki keong yang biasanya tidak berada di
garda terdepan.
Dari hal ini saya menyadari rasa caring dalam team adalah hal yang sangat
penting, mendaki bukanlah tentang siapa yang lebih dulu samapai ke tujuan dan
kemudian merasa menghebatkan diri diantara sekawanan yang secara fisik lebih
lamban. Walau di dalam team kita berada di posisi yang tak terlalu di depan,
namun pada prinsip dan tujuannya adalah mencapai tempat dan tujuan yang sama. Safety first adalah hal yang pertama
kali diperhatikan. Dan ini pun menjadi pelajaran ketiga bagi saya, dimana
rasa kepedulian menjadi poin utama susksesnya pendakian beregu. Walau sedikit
molor dari perhitungan akhirnya kami semua tiba di Danau Gunung Tujuh dengan
kondisi yang baik.
Setelah trekking yang meghabiskan
waktu hampir sekitar empat jam dengan berbagi medan yang di tempuh, akhirnya
tiba juga di Danau Gunung Tujuh yang menjadi tujuan utama kami, hari pun semakin
sore, cuaca sudah mulai menyentuh suhu yang semakin dingin, perlengkapan pun
dikeluarkan dan mulai memasang tenda untuk camping di tepian danau. Ada dua
tenda yang waktu itu kami bawa, pertama tenda untuk regu team wanita yang
berjumlah 3 orang dan tenda regu pria yang berjumlah 5 orang. Waktu sudah
berlalu satu jam, dan hari sudah mulai menunjukkan sisi gelapnya, namun
ternyata tenda dari team regu pria juga belum rampung didirikan karena semua
hampir masih dibilang amatir untuk mendirikan tenda. Tanpa disangka, karena
niatan awalnya memang team pria tak mau merepotkan team wanita, namun ternyata
tanpa diminta justru team wanita langsung dengan sigap mengambil alih tugas
untuk memasang tenda team pria, dan hanya dalam hitungan 15 menit tenda pun
siap digunakan.
Sedikit terharu dengan momen saat
itu, dimana ternyata sebuah teamwork
yang solid dalam keadaan yang mendesak tidak akan memnadang sebuah tugas
sebagai kewajiban ini milik dan tugas siapa. Pada kondisi ini bahkan tidak
membedakan sama sekali dan memposisikan dirinya sebagai wanita saat itu. Karena
memang di dalam team ada satu wanita yang sudah expert untuk hal mengurus
perkakas pendakian seperti ini. Dari sini saya medapatan pelajaran keempat tentang
arti persamaan gender dan kesetia-kawanan dalam pendakian merupakan hal yang
menjadi poin plus dalam teamwork.
Hari semakin malam dan cuaca
dingin semakin menggigit di kulit, suasana semakin gelap gulita dalam pekatnya
malam yang bercampur badai kencang malam itu. Tenda perlahan mulai goyah dari
ikatan patoknya, semakin malam hujan semakin kencang dan badai semakin kuat,
air hujan pun perlahan sedikit demi sedikit mulai mermbes masuk ke dalam tenda.
Posisi tenda semakin tidak memungkinkan untuk ditempati oleh 5 orang dalam satu
tenda yang memang secara jumlah telah melebihi kapasitas. Mengingat keadaan
tenda yang semakin tidak memungkinkan mengingat cuaca yang buruk, akhirnya
memutuskan satu orang dari team pria untuk diungsikan ke dalam tenda wanita.
Meski rasanya janggal, namun mau tidak mau itu harus dilakukan demi keselamatan
dan kenyamanan semua team. Dan team wanita pun tidak mempermasalahkan hal ini,
karena yang terpikir pada malam itu hanyalah keselamatan semua peserta dari
badai yang begitu kencang, meski solusinya dengan terpaksa dari team wanita harus
merlekan satu pria menginap di tenda yang sama malam itu. Dari hal ini saya
memperoleh pelajaran kelima bahwa keselamatan dalam team adalah hal yang
harus diprioritaskan diatas kepentingan kelompok lainnya.
Badaipun berakhir juga setelah
semalaman penuh dihampiri rasa takut berharap tidak terjadi apa-apa, dan
Alhamdulillah ketegangan dari semalam disambut dengan pagi manis yang indah.
Pagi-pagi sekali saya melihat team wanita sudah bergegas menyiapkan segala logistik
untuk diolah menjadi sarapan pagi ini, dan team pria pun tanpa dikomando
menyiapkan segala perlengkapan memasak dan membersihkan bekas sisa makanan
petang kemarin. Pagi ini semua terlihat kompak tanpa ada intruksi sama sekali,
suatu kerharmonisan team pendakian yang luar biasa. Dari sini saya kembali
memahami dan mendaptakan pelajaran kelima tentang arti
keikhlasan melakukan tugas tanpa menunggu aba-aba dari siapapun, karena kepentingan
bersama harusnya memang dilakukan bersama, tak ada yang menjadi bos untuk minta
dilayanai, tidak ada yang bermanja-manja cengeng untuk dikasihani, karena semua
sama untuk kepentingan bersama.
Jam sudah menunjukkan pukul
delapan pagi, dan semua telah menyelesaikan rutinitas pagi untuk mengisi perut,
pagi itu kami memiliki agenda untuk bermain sampan yang katanya sudah berusia
puluhan tahun membawa setiap pendaki mengitari seputaran Danau Gunung Tujuh ini
dari masa ke masa. Tak dapat di pungkiri bahwa dokumentasi menjadi kegiatan
wajib dalam setiap agenda perjalanan. Tanpa di beri arahan kami pun terpecah
menjadi dua team sampan yang masing-masing berisi anggota yang memiliki kamera
untuk dokumentasi.
Meski hanya perjalanan singkat,
namun kegiatan ini menjadi momentum paling berkesan dalam perjalanan kami yang
super care setiap masing-masing
anggota. Dari kejauhan team seberang memotret aktifitas kami dan sebaliknyapun
begitu, team di dalam sampan kami yang memiliki kamera melakukan kegiatan
serupa. Dari hal ini muncul semacam kesadaran dengan sendirinya bahwa setiap
orang membutuhkan dan menginginkan dokumentasi untuk perjalanannya. Dan semua
saling melakukan hal yang sama, semacam suatu tindakan di bawah alam sadar
untuk saling mengabadikan masing-masing gambar. Dari aktifitas ini saya kembali
mendapatkan pelajaran keenam, bahwa kebahagiaan adalah keinginan setiap
orang. Kita memberikan kebahagiaan untuk orang lain, maka dengan sendirinya
balasan yang sama akan kita terima pula tanpa harus diminta, begitulah hukum
alamnya secara tersirat.
Kegiatan menyampan kami lakukan
hingga pukul 10.00 pagi itu, dan harus segera kembali ke daratan untuk berkemas
melakukan packing segala perlengkapan untuk kembali turun dari gunung. Suasana
semakin hangat di kala persiapan pulang semua sudah terlihat seperti keluarga
besar yang utuh, saat sebagian ada yang melepas patok tenda, sebagiannnya lagi
mengeluarkan barang-barang dari dalam tenda. Ada yang berkemas merapikan dan
beberapa lainnya mengumpulkan sampah sisa semalam untuk dibersihkan. Rasanya
pagi ini semacam rasa haru mendalam tak ingin segera berpisah dari team ini
yang mungkin tak akan ditemui lagi yang semacam ini di pendakian selanjutnya
bersama team yang berbeda nanti. Penutup kegiatan pagi ini memberikan pelajaran
ketujuh kepada saya bahwa bukan uang yang menjadi patokan sebuah kebahagiaan
dan tak mesti satu ikatan darah untuk membentuk rasa kekeluargaan yang indah.
Sebuah kegiatan pendakian yang benar-benar mengajarkan banyak hal mengenai
siapa diri ini dan apa yang sudah tuhan berikan untuk nafas dan nikmatnya
kebersamaan berbaur dengan alam yang masih bisa kami rasakan pagi ini.
Briefing pagi pun dimulai,
setelah doa bersama kamipun segera menuruni Gunung tujuh ini. Perjalanan turun
ternyata tak sesulit saat melakukan penanjakan seperti hari kemarin, mesti
jalanan diguyur hujan dan badai seharian sehingga menyebabkan jalur trekking
semakin sulit karena berkali-kali sepatu harus tenggelam dalam pijakan tanah
liat yang labil. Rasa lelah memang tak begitu terasa, namun tetap saja
dehidrasi akan semakin terasa setelah satu jam menuruni jalur yang tidak konstan
akibat diguyur hujan. Logistik sudah semakin terbatas, yang tersisa hanya air
mineral yang tinggal beberapa botol saja. Semua sudah mulai merasakan haus,
dengan sisa botol minum yang ada hanya dua botol saja yang dimiliki oleh dua anggota, harus bisa tercukupi hingga nanti tiba sampai
kebawah.
Dalam hal ini egopun
dikesampingkan. Ini yang membuat saya mengacungkan dua jempol untuk perjalanan
kali ini. Botol mineral yang hanya berisi 300 ml air sebanyak dua tabung harus
dibagikan bersama untuk 8 orang pendaki. Sebenarnya tidak ada yang meminta air
yang mereka miliki, namun rasa berbagi dan kepedulian terhadap satu team dan
sebuah mindset yang sudah tertanam bahwa senang dan sukar harus dinikmati
bersamalah yang secara otomatis menjadikannya semua saling berbagi. Walau
masing-masing hanya mendapatkan tegukan
air mineral beberapa mili saja, tapi setidaknya bisa menghilangkan rasa dahaga
yang dibutuhkan oleh semua orang dalam team tersebut. Pelajaran kedelapan yang
saya dapat dalam cerita ini tentang mengindahkan rasa ego dan rasa saling
berbagi terhadap sesama.
Perjalanan pendakian kali ini
adalah sebuah proses pembelajaran yang luar biasa. Sebuah perjalanan menyusuri
alam yang penuh dengan pelajaran spiritual tentang mengenali jati diri dan
menghargai sebuah team agar bisa solid. Inilah hirarki makna pendakian
sebenarnya yang secari. Kisah yang bisa kita bagikan bukan hanya tentang
bagaimana kamu berhasil menggapai puncaknya saja, namun ada sebuah momen dalam
proses menggapai tujuan tersebut yang akan selalu dikenang sepanjang masa.
Semoga menginspirasi dan samapi jumpa di postingan saya selanjutnya sobat budget traveler.
0 komentar